Kemiskinan Membuat Anak Stres dan Mengalami Gangguan Otak
Seringkali kita mendengar bahwa pengalaman hidup memiliki pengaruh terhadap kehidupan seseorang, terutama pengalaman yang terjadi di masa kecil atau awal kehidupan seseorang. Namun apakah Anda tahu bahwa pengalaman hidup ternyata juga berpengaruh terhadap tubuh dan perkembangan otak manusia? Pengaruh yang akan kami paparkan dalam artikel ini cenderung merujuk pada pengaruh negatif, yaitu berkaitan dengan pengalaman hidup mereka yang tumbuh besar dalam kemiskinan.
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dan menghabiskan masa kecilnya dalam kemiskinan cenderung mengalami stres dan gangguan pada otaknya. Bagaimana bisa? Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan penghasilan rendah terpapar oleh tekanan eksternal. Misalnya soal ketersediaan makanan yang sehat dan bergizi, lingkungan sekitar yang tidak aman, serta orangtua yang juga rentan akan stres.
Keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah rentan mengalami berbagai macam tekanan. Mulai dari masalah rumahtangga, bagaimana cara membayar tagihan bulanan, mungkin kerap berpindah rumah, hingga faktor lain ketika anak mulai masuk usia sekolah. Anak-anak tersebut cenderung memiliki sedikit mainan, jarang berkunjung ke museum atau melakukan studi wisata, ditambah orangtua mereka yang terlalu lelah atau sibuk untuk berinteraksi secara intelektual, seperti membacakan buku atau sekadar berbincang dengan mereka.
Sedini usia dua tahun, anak-anak telah dapat turut merasakan kondisi sekitar terutama apa yang orangtua mereka rasakan. Hidup dalam kemiskinan berarti mengalami kekurangan untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, hingga kesehatan. Stres yang orangtua rasakan dapat pula dirasakan oleh anak dan kondisi stres yang kronis dapat memberikan efek langsung pada otak, sehingga membuat anak mengalami gangguan paling tidak pada satu area di otaknya, yaitu yang berhubungan dengan memori kerja (memori jangka pendek).
Otak anak-anak tersebut juga memiliki jalur perkembangan yang berbeda sejak usia dua tahun, sehingga semakin lama seseorang menghabiskan masa kecilnya dalam kemiskinan, semakin kronis pula tingkat stres mereka dan semakin rendah skor yang mereka dapatkan dalam tes yang berkaitan dengan memori jangka pendek. Mereka yang tumbuh dalam kemiskinan memiliki skor memori lebih rendah ketimbang orang-orang yang tidak pernah mengalami kemiskinan.
Inilah yang membuat penelitian dengan metode berbasis neurosains kini digunakan untuk memahami kemiskinan dan efeknya pada kemampuan kognitif seorang anak. Stres diyakini dapat berimbas pada fungsi otak dan memengaruhi prestasi mereka di masa depan kelak.
Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang mengaitkan kondisi ekonomi dengan fisiologis pada orang dewasa yang mengalami kemiskinan di masa kecil. Hasil pemindaian pada otak mereka menunjukkan bahwa area otak yang signifikan bagi perkembangan kognitif memiliki warna abu-abu hingga 10% lebih sedikit dari perkembangan otak yang normal. Area otak tersebut meliputi kemampuan mengingat jangka pendek, pemecahan masalah, bahasa serta emosi.
Hasil pemindaian juga menunjukkan level hormon kortisol yang tinggi pada anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan. Hal ini menarik karena kondisi tersebut juga identik dengan anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Perbedaannya, anak yang mengalami kasus kekerasan menunjukkan level stres yang tinggi, namun terjadi penurunan dan peningkatan selama masa observasi. Level stres pada anak yang mengalami kemiskinan memang tidak setinggi anak korban kekerasan, namun level stresnya konstan dan tidak pernah menurun.
Peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak yang hidup dalam kemiskinan pun mengalami stres yang kronis. Kondisi ini juga disebut menjadi alasan bahwa memori jangka pendek mereka tidak berkembang dengan baik. Memori tersebut penting dalam proses belajar, sehingga bila memori jangka pendek mengalami penurunan, anak tidak akan mampu menyerap informasi dengan baik. Dan informasi merupakan bahan yang penting dalam belajar dan memecahkan masalah.
Hal ini konsisten dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya pada hewan dan studi pemetaan otak pada manusia yang mengindikasikan tubuh mereka merespon stimulus berupa stres, seperti meningkatnya level kortisol secara kronis dan efeknya yang kurang baik terhadap otak, termasuk area otak yang berperan dalam kemampuan mengingat jangka pendek. Hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial politik, tapi juga masalah biomedis.
Selama ini peneliti cenderung berhipotesis seputar faktor genetik dan lingkungan yang memengaruhi anak-anak dengan kondisi sosial ekonomi rendah tidak dapat berprestasi di sekolah. Antara lain kurangnya stimulus intelektual saat mereka sedang tumbuh dan berkembang hingga adanya paparan terhadap timah di lingkungan mereka tinggal, yang mencemari air atau makanan yang mereka konsumsi. Sehingga meneliti stres kronis sebagai penyebab rendahnya prestasi mereka merupakan hal yang baru.
Kemiskinan memang bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi perkembangan seorang anak, namun hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa memang ada hubungan antara kemiskinan dan prestasi mereka. Sehingga penelitian lebih lanjut sungguh sangat diperlukan untuk menyokong hasil-hasil yang telah ada dengan harapan dapat memberi petunjuk mengenai mereka yang mengalami keterlambatan perkembangan kognitif terkait kondisi sosial ekonominya serta bagaimana intervensi terbaik untuk mereka.
Artikel Terkait
- 6 Cara Menjadi Kaya Ala Orang Yahudi
- Cara Menghitung Zakat Deposito Syariah
- Tip Menaikkan Pendapatan dengan Semakin Produktif
- Tip Memanage Keuangan untuk Pasangan LDR (Long distance relationship)
Demikianlah artikel tentang kemiskinan membuat anak stres dan mengalami gangguan otak, semoga bermanfaat bagi Anda semua.