Subprime Mortgage Crisis di Amerika, Bisakah Terjadi di Indonesia?
Sekitar tahun 2008 yang lalu terjadi krisis di Amerika yang merupakan masalah finansial serius negeri paman Sam tersebut. Betapa tidak krisis ini membuat harga-harga rumah berjatuhan drastis. Anggapan rumah sebagai investasi yang tidak akan pernah turun dipatahkan dengan adanya krisis tersebut. Krisis ini menjadikan hemapasan finansial secara makro pada perekonomian Amerika pada saat itu. Lalu kenapa krisi seperti itu bisa terjadi pada negara yang kita kenal sebagai negara yang sudah maju.
Menjawab pertanyaan tersebut bukanlah hal yang mudah, karena rentetan kronologi dari peristiwa itu adalah serangkaian aktivitas investasi yang salah dalam menentukan langkah. Seperti diketahui, Amerika merupakan pusat sirkulasi saham terbesar dunia yang berpusat di Wall Street. Disinilah perputaran investasi para investor memainkan perannya dalam melipat gandakan uangnya. Sejarah kelam perekonomian Amerika memberikan kita pelajaran akan pentingnya sebuah perhitungan yang matang dalam setiap keputusan.
Krisis yang terjadi di Amerika pada 2008 lalu adalah dimulainya dari ambruknya Bank Investasi Tertua dan terbesar di Amerika yaitu Lehman Brothers Bank. Pada saat itu Richard Severein Fuld adalah orang yang menduduki kursi CEO Bank tertua tersebut. Pada saat itu Lehman Brothers memutuskan untuk meminjam uang kepada Federal Reserve (disini Bank Indonesia) dengan jumlah yang sangat besar. Jumlah pinjaman yang lebih besar dari Bank Investasi pada umunya.
Dengan reputasi dan pengalamannya tentunya pihak Federal Reserve dengan percaya diri meberikan pinjaman tersebut. Lehman Brothers memutuskan berani untuk mengajukan pinjaman yang cukup besar dipicu dari kebijakan Federal Reserve pada saat itu untuk menurunkan suku bunga hingga 1%. Kebijakan menurunkan bunga hingga 1% dipicu dari krisis dot com pada 11 September, sehingga Chairman Federal Reserve, Allan Greenspan mengeluarkan kebijakan penurunan tingkat suku bunga agar perekonomian makro tetap bisa berjalan.
Namun kebijakan ini membuat para investor enggan membelanjakan uangnya untuk membeli obligasi dari pemerintah, peluang ini juga dilirik oleh bank-bank investasi yang dapat juga melakukan pinjaman dengan bunga yang cukup rendah yaitu 1%. Kesempatan inilah yang diambil oleh bank investasi salah satunya adalah Lehmann Brothers. Dari sinilah awal krisis di Amerika dimulai.
Dengan peluang tersebut maka Wall Street mengambil perannya untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat, para pialang mulai menghubungi para investor untuk mengucurkan dananya. Pada waktu itu Lehman Brothers banyak membelanjakan uang dari pinjamannya untuk membeli Investasi perumahan pada bank-bank pemberi kredit. Sehingga bursa saham di Wall Street pun akhirnya melonjak dan mendapatkan banyak investor yang menginvestasikan dananya pada lini properti. Akan tetapi mata rantai dari perputaran keuntungan tidak begitu saja mulus seprti yang diharapkan.
Siklus Krisis Perumahan
Ternyata terjadi sebuah siklus yang saling menguntungkan dengan adanya investasi perumahan ini dan juga mengakibatkan ambruknya perekonomian makro negara paman Sam tersebut, yang juga berimbas kepada efek perekonomian global. Para bank pemberi kredit perumahan mendapat tawaran kerjasama dari bank investasi Lehman Brothers untuk membeli semua kredit perbankan perumahannya. Betapa tidak menarik, hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi Bank pemberi kredit. Sehingga secara teknis pembayaran kredit akan berganti tangan dan mengalir kepada bank investasi sebagai pembeli dari KPR tersebut.
Dan bank pemberi kredit mempunyai peluang untuk memutar dana segar dari hasil penjualan KPR tersebut. Sedangkan Lehman Brothers menjual KPR tersebut kepada pasar investasi agar mendapat keuntungan yang lebih baik. Pada awalnya siklus ini berjalan lancar dan memang menguntungkan, betapa tidak disaat obligasi pemerintah tidak menarik bagi investor karena bunganya rendah walaupun resikonya juga kecil akan tetapi investasi yang ditawarkan dari perputaran siklus ini memberikan angin segar bagi investor.
Sehingga investor banyak menanamkan uangnya pada kue investasi yang ditawarkan bank investasi. Dengan banyak permintaan dan peluang yang menggiurkan maka dari itu Lehman Brothers menambah jumlah hutangnya untuk dapat membeli KPR pada bank-bank pemberi kredit. Dan bank pemberi kredit terus mencari pembeli rumah. Begitulah bola salju itu berjalan sampai pada saatnya bank pemberi kredit sudah kehabisan debitur untuk membeli rumahnya.
Karena permintaan dari Bank Investasi kian meningkat Bank-bank pemberi kredit perumahan mempermudah pengajuan kredit perumahan kepada semua masyarakat, bahkan kredit dikucurkan pada debitur yang mempunyai reputasi buruk atau disebut dengan Subprime Mortagage sehingga hal ini memicu kredit macet yang antre dan berderet.
Mungkin sepintas tidak akan menimbulkan masalah karena pihak bank akan menyita rumah tersebut. Akan tetapi ketika jumlah rumah yang disita bank terlalu banyak dan menimbulkan ketidak seimbangan dalam pasar. Sehingga Jumlah Barang lebih tinggi dari permintaan, terjadilah penurunan harga. pihak bank merasa kesulitan untuk menjual rumah yang disita tersebut. Bahkan yang lebih parahnya lagi.
Banyak pihak yang rela membuat rumahnya disita oleh bank dan membeli rumah baru dengan cara cash. Betapa tidak, mereka yang mengangsur dengan bunga dan cicilan bertahun-tahun mendapati harga rumah baru lebih murah dari dia mengangsur. Pola seperti ini menambah deret kredit macet dari perumahan. Karena rumah berjatuhan dan secara otomatis mempengaruhi harga investasi yang semula dipegang oleh bank investasi. Sehingga banyak investor menarik kembali investasinya karena tahu bahwa jatuhnya harga property saat itu.
Sehingga muncul kegaduhan dikalangan elite investasi, tidak ada yang mampu dan mau mebeli rumah dengan harga yang jatuh tersebut sehingga dana tidak dapat berputar dan mengalir lagi. Sontak perputaran menjadi macet dan kejatuhan Lehman Brothers adalah simbul dari terjadinya krisis tersebut.
Pertanyaannya apakah hal ini bisa terjadi juga di Indonesia. Tentu saja bisa apabila pemain pasar modal dan kebijakan moneter kita tidak belajar dari kesalahan yang sudah sudah dan mengambil pelajaran dari Kris yang sudah menimpa negara adikuasa tersebut. Mengingat kebutuhan perumahan adalah merupakan kebutuhan yang masih dicari di Indonesia. Dengan pengawasan yang ketat terhadap kebijakan perbankan nasional maka resiko krisis seperti itu akan dapat dihindari.
Artikel Terkait
- Kredit Rumah untuk Orang Miskin, Memicu Krisis Ekonomi?
- Matinya Mall di Amerika, “Death of Retail”
- Untung Rugi KPR Tenor Pendek
- Telat Bayar KPR? Ini Konsekuensinya!
Demikianlah artikel tentang biasakah Subprime Mortgage Crisis di Amerika terjadi di Indonesia, semoga bermanfaat.