Mendidik Anak Menjadi Pengusaha? Mengapa Jarang yang Melakukannya?
Orang tua mana yang tidak ingin anaknya mandiri dan sukses? Salah satu alasan utama orang tua menyekolahkan anak-anaknya adalah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi agar bisa bersaing di masa depan di tengah ketidakpastian. Namun, model pendidikan tradisional di sekolah maupun perguruan tinggi tidak menjamin dicapainya tangga karir yang mulus.
Pertumbuhan penduduk, krisis ekonomi, globalisasi, pergantian kekuasan politik maupun ekonomi, serta pasar tenaga kerja yang begitu dinamis meniscayakan tantangan besar yang menghantui anak-anak di tengah pasar tenaga kerja. Dan, itu artinya pendidikan tidak menjamin penghidupan yang layak dan karir yang menanjak.
Sudah menjadi kenyataan bahwa mereka yang lulus dari perguruan tinggi terbaik sekalipun memerlukan waktu hingga bertahun-tahun agar bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan dan pantas. Menjadi tenaga magang atau honorer merupakan hal yang umum ditemui di seluruh dunia, dan kerapkali tidak membawa perubahan besar bagi yang bersangkutan walau sudah enam bulan lebih berada di tempat tersebut.
Lalu, apa solusi terbaik untuk menjawab tantangan semacam itu di masa depan selain mengajarkan pada anak-anak soal kewirausahaan sedini mungkin? Hanya dengan cara semacam inilah anak-anak dapat menciptakan peluang mereka sendiri ketika saat yang diperlukan tiba.
Tapi, di luar ancaman yang menghadang itu, masih banyak orang tua yang enggan mengajarkan anak-anak dunia ‘baru’ itu. Padahal, kewirausahaan akan mengubah anak-anak menjadi seorang pemimpin. Kewirausahaan akan menjadikan anak-anak mereka sebagai pemberi lapangan kerja ketimbang menjadi seorang karyawan; dan membantu anak-anak mewujudkan hidup yang independen dan sukses melalui pendirian dan pengoperasian usaha mereka sendiri. Dan, yang paling penting, kewirausahaan memberi anak-anak peluang untuk menjalani kehidupan yang lebih layak dan pantas di tengah dunia yang keras dan kejam ini.
Lalu, apa alasan kebanyakan orang tua enggan mendidik anak-anaknya untuk menjadi seorang pengusaha atau menjalankan bisnis sendiri? Simak poin-poin berikut.
1. Tidak memahami dunia finansial
Kebanyakan keluarga kelas menengah ke atas tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan memadai soal dunia finansial. Hal ini membuat mereka lebih enggan lagi memahami persoalan kewirausahaan yang notabene lebih rumit ketimbang persoalan finansial itu sendiri. Mengapa demikian? Tidak lain karena persoalan finansial hanyalah segelintir dari sekian aspek yang terlibat di kancah kewirausahaan. Inilah sebab mengapa jarang kita temui orang tua yang mengajarkan atau mendorong anak-anaknya untuk menjadi pengusaha.
2. Menjadi pengusaha berarti punya waktu sedikit untuk keluarga
Walau bisnisnya sudah mapan sekalipun, seorang pengusaha tidak akan pernah berhenti mengembangkan apa yang telah ia atau orang tuanya rintis. Sekali menjadi pengusaha, seseorang tidak akan berhenti untuk mengembangkan diri maupun bisnisnya; karena sudah menjadi kebiasaan pengusaha untuk menerima tantangan. Bagi orang awam, pengusaha tidak pernah istirahat, dan itu berarti tak punya waktu banyak untuk keluarga. Mereka berpendapat bahwa keluarga seorang pengusaha pasti amburadul karena tidak adanya komunikasi dan interaksi yang memadai antara orang tua – yakni sang pengusaha – dengan istri maupun anak-anaknya. Padahal, statistik menunjukkan bahwa angka perceraian jauh lebih tinggi menimpa para karyawan dan pegawai kantoran ketimbang para pengusaha.
3. Dunia bisnis atau kewirausahaan itu keras dan tidak aman
Bagaimanapun juga ada orang tua mengerti bahwa manusia memiliki batasan umur dan tenaga, dan itulah yang membuat mereka enggan mengajarkan kewirausahaan pada anak-anaknya. Mereka sadar, mereka takkan bisa selamanya mendampingi anak-anaknya ketika ada masalah. Dan, menjadi seorang pengusaha itu artinya mendulang masalah lebih banyak lagi ketimbang menjalani hidup layaknya manusia biasa. Dunia bisnis tidaklah aman, begitu menurut kebanyakan orang tua. Mereka yang lebih ‘moderat’ baru mengijinkan anak-anaknya untuk menjalankan usaha sendiri setelah lulus kuliah – setelah anak-anaknya mampu memperoleh pendapatan stabil sebagai ‘bemper’ sembari menjalankan bisnis sendiri.
4. Terlalu mementingkan penilaian masyarakat
Salah satu sifat terburuk yang dimiliki kebanyakan orang tua adalah memandang bahwa penilaian masyarakat atau penilaian publik selalu benar dan kebenaran itu sendiri. Orang tua semacam ini rela menjadikan dirinya bulan-bulanan publik dan hanya membesarkan generasi penerus yang tidak punya harga diri dan tercerabut akar kemanusiaannya. Orang tua semacam ini tak punya independensi. Jika masyarakat memandang bahwa kuliah dan menjadi pegawai di sebuah perusahaan itu hal yang bagus, mereka akan memaksa anak-anaknya memilih jalur demikian. Jika masyarakat berpendapat bahwa menjadi seorang pengusaha itu terhormat, mereka pun akan memerintahkan anak-anaknya untuk menjadi pengusaha. Bagi orang tua semacam ini, menjadi pengusaha atau tidak menjadi pengusaha adalah dua hal yang sama.
5. Pesimis terhadap kemampuan anak
Tidak jarang orang tua yang memandang buruk terhadap kompetensi anaknya sendiri. Hal ini lumrah ditemui di tengah orang tua yang sebenarnya tak punya semangat belajar, tidak punya keterampilan dan kompetensi serta gagal dalam mengarungi kehidupan sebagai manusia dan makhluk sosial sehingga memandang anak-anaknya seburuk dirinya. Dalam kasus ini, sang orang tualah yang sakit secara psikologis. Tak jarang, orang tua semacam ini menolak memberi anak-anaknya fasilitas (meskipun sebenarnya mampu), pesimis terhadap kemampuan anak, dan bahkan menciptakan kondisi sosial kemasyarakatan sedemikian rupa agar anak-anaknya hancur kepercayaan diri dan kredibilitasnya hanya karena yang bersangkutan gagal sebagai orang tua.
6. Pandangan bahwa pengusaha buruk karena mata duitan dan oportunis
Tidak sedikit orang tua yang berpendapat bahwa seorang pengusaha atau pebisnis itu sifatnya buruk – egois, keras kepala, tak punya empati dan simpati, asosial, pelit dan dingin – karena memandang segala sesuatu berdasarkan nilai mata uang. Beberapa orang tua bahkan menganjurkan anaknya untuk menjauhi teman-temannya yang sudah terlihat piawai melakukan bisnis semenjak belia karena alasan semacam ini. Tidak jarang pula orang tua semacam ini melancarkan propaganda bahwa seorang pengusaha tidak akan mau berhubungan dengan orang lain, kecuali orang tersebut bakal menjadi menjanjikan keuntungan finansial berlipat di masa depan. Propaganda semacam ini yang membuat anak-anak enggan menjadikan pengusaha sebagai cita-cita mereka saat besar nanti; dan tidak pernah mengajarkan dunia kewirausahaan.
Artikel Terkait
- Ciri-ciri Orang yang Dapat Diandalkan Sebagai Teman Kerja
- Ini Dia Beda Pebisnis dan Pengusaha
- Cara Orang Kaya Membesarkan Anak agar Tidak Manja
- Cara Networking Efektif untuk Entrepreneur Pemula
Demikianlah artikel tentang mendidik anak menjadi pengusaha, semoga bermanfaat bagi Anda semua.