Mengapa Mencicil Rumah Melalui KPR Harus Membayar DP?
Gonjang ganjing Pilkada DKI 2017 lalu memunculkan satu istilah baru, DP 0%. Seluruh warga DKI disebutkan bisa memiliki rumah tanpa harus membayar DP (Down Payment). Mereka tinggal membayar cicilan per bulan saja sesuai dengan tenor yang diambil.
Benarkah mencicil rumah melalui KPR saat ini bisa tanpa DP? Secara teoritis hal ini memungkinkan saja untuk dilakukan. Tapi secara fakta di lapangan bakal sulit diwujudkan. Kenapa?
Membayar DP 0% akan berimbas kepada jumlah cicilan yang makin besar. Hitung-hitungan gampangnya, ketika sebuah rumah seharga Rp 100 juta harus membayar DP 30% maka nasabah hanya tinggal mengangsur Rp 70 juta. Dengan bunga KPR 5% dari Rp 70 juta maka didapat angka Rp 3,5 juta.
Asumsikan nasabah mengambil tenor 15 tahun atau 180 bulan. Maka cicilan per bulan akan berada di angka Rp 408.334. Hasil ini didapat dari total utang Rp 73,5 juta dibagi 180 bulan.
Sekarang bandingkan jika nasabah mengambil KPR yang sama dengan tanpa DP. Meski bunganya sama-sama 5% tapi hasil yang didapat jelas lebih besar, karena diambil dari harga total rumah yaitu Rp 100 juta. Artinya total utang nasabah menjadi Rp 105 juta.
Total utang ini ketika dibagi dalam 180 bulan akan didapat angka Rp 583.334. Selisihnya hampir 200 ribu rupiah per bulan. Padahal mereka harus membayar selama 180 bulan.
Memang saat ini ada banyak pengembang yang meluncurkan promo DP 0%. Konsumen cukup membayar booking fee yang besarnya berkisar Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta. Namun sejatinya ini hanyalah trik dari pengembang untuk menarik hati konsumen.
Pengembang seolah memberikan subsidi DP kepada konsumen. Padahal sebenarnya DP sudah masuk ke dalam harga rumah. Ambil contoh, modal dasar sebuah rumah adalah Rp 150 juta. Pengembang mengambil keuntungan Rp 30 juta. Harga rumah yang dijual pun menjadi Rp 180 juta.
Kemudian pengembang memasukkan subsidi DP Rp 20 juta dalam nilai jual rumah. Maka harga rumah yang dipasang di pamflet atau iklan menjadi Rp 200 juta. Tinggal nanti pengembang yang bilang ke pihak Bank nasabah sudah membayar DP 10% atau 15%. Toh uang DP tersebut memang langsung masuk ke kantong pengembang tanpa melalui Bank lebih dulu.
Mengandung Risiko
Hingga saat ini, program DP 0% tidak pernah disetujui oleh Bank Indonesia selaku bank sentral. BI hanya punya peraturan soal pembayaran KPR ini yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 yang terakhir revisi pada Agustus 2016. Dalam peraturan tersebut setiap nasabah yang akan mengambil cicilan rumah melalui KPR harus membayar DP sebesar 15% dari harga jual rumah.
Sebelumnya, BI bahkan mematok DP minimal yang harus dibayar mencapai 30%. Namun seiring munculnya Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid XIII, persentase DP pun diperingan menjadi hanya 15% saja. Salah satu isi dari PKE tersebut adalah menyorot reformasi dalam perizinan pembangunan rumah murah bagi masyarakan berpenghasilan rendah.
Aturan BI itu pun dipatuhi oleh seluruh Bank yang memiliki program KPR. Bank tidak akan berani menyetujui pengajuan KPR jika nasabah tidak mampu membayar DP setidaknya 15% sesuai yang ditetapkan BI. Bank yang nekat pasti akan kena semprit dan sanksi.
Selain itu, Bank Indonesia sudah mengatur besaran cicilan KPR tidak boleh melebihi dari 35% penghasilan nasabah. Jumlah ini sudah diperhitungkan sedemikian matang agar tidak memberatkan debitur. Karena debitur tetap punya kebutuhan lain seperti biaya hidup, biaya sekolah anak, dan biaya-biaya lainnya.
Semua aturan ini dimunculkan sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang dianut perbankan. Jangan sampai terjadi banyak kredit macet akibat banyaknya debitur yang mangkir dari kewajiban membayar cicilan. Saat harus memilih antara kebutuhan sekolah anak dengan cicilan KPR yang besar, masyarakat pasti akan memilih membayar keperluan sekolah lebih dulu.
Dampak lain dari program DP 0% adalah munculnya banyak spekulan. Dengan kemudahan mencicil rumah tanpa DP maka akan ada banyak orang yang mengajukan permohonan kredit kepada Bank.
Dengan makin banyaknya masyarakat yang mengambil KPR, secara tidak langsung justru menjadi ancaman tersendiri bagi Bank. Terlebih lagi, angka cicilan yang cukup besar saat mengangsur tanpa membayar DP. Kemungkinan terjadinya kredit macet akan sangat besar.
Saat debitur KPR banyak yang bermasalah, akan langsung berdampak buruk bagi dunia perbankan. Nah, saat perbankan banyak yang kolaps akibat angka kredit macet yang besar, perekonomian nasional pun terancam mengalami krisis.
Seperti yang pernah dialami Amerika Serikat pada 2008. Saat itu Amerika didera krisis ekonomi berat yang diakibatkan subprime mortgage. Istilah ini ditujukan kepada pemberian kredit perumahan (mortgage) yang dilakukan secara serampangan oleh perbankan Amerika. Selama beberapa tahun sebelum krisis, kredit perumahan banyak diberikan kepada debitur dengan catatan utang yang buruk. Pemberian kredit semacam ini sangat berisiko bagi Bank.
Terbukti, akhirnya banyak sekali debitur yang mengalami masalah dalam pembayaran cicilan. Kondisi ini membuat Bank menarik semua jaminan kredit yang dalam hal ini berbentuk rumah. Bank pun mengalami oversupply jaminan rumah tapi justru kekurangan likuiditas. Akhirnya, dunia perbankan Amerika pun kolaps dan berimbas terhadap kondisi ekonomi nasional dan global.
Karena itulah BI hingga saat ini masih tegas dalam menerapkan aturan DP KPR minimal 15%. Hal ini tak lain bertujuan untuk menekan bertambahnya tingkat kredit macet di masyarakat yang bisa berimbas buruk kepada perekonomian nasional.
Artikel Terkait
- Apa itu KPR Refinancing? Kenapa Harus Refinancing?
- KPR BTN Mikro untuk Pekerja yang Penghasilannya Rendah
- Untung Rugi KPR Tenor Pendek
- Telat Bayar KPR? Ini Konsekuensinya!
Demikianlah artikel tentang mengapa KPR harus membayar DP, semoga bermanfaat bagi Anda semua.