Matinya Mall di Amerika, “Death of Retail”
Sebagai negara adikuasa, Amerika Serikat memang merupakan trendsetter dalam hal-hal yang terjadi di dunia. Ini dibuktikan dengan banyaknya terminologi ciptaan Amerika Serikat yang ujung-ujungnya juga berimbas ke seluruh negara lain di dunia. Contohnya adalah “Death of Retail” yang akan saya bahas dalam artikel ini.
“Death of Retail” sendiri berasal dari fenomena mal-mal ternama di Amerika Serikat yang terpaksa tutup dikarenakan menjamurnya online shop di negeri Paman Sam tersebut. Karena online shop yang lebih efisien soal waktu, maka brand-brand terkemuka seperti Macy’s dan Abercrombie and Fitch seolah “dipaksa” buyar.
Bagi yang masih penasaran mengenai fenomena “gaib” satu ini, artikel ini akan membahas penyebab, prediksi, dan dampaknya bagi negara kita secara lebih lanjut. Berikut ini adalah ulasannya:
- Penyebab Asli Terjadinya “Death of Retail”
Karena Amazon merupakan online shop yang paling viral di Amerika Serikat, maka kebanyakan orang akan menyalahkan Amazon sebagai “biang kerok” dari jatuhnya berbagai merek mal ternama di Amerika Serikat. Padahal, Amazon bukanlah satu-satunya online shop yang terkenal dan berpusat di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, penyebab asli terjadinya fenomena usaha ritel yang (hampir) punah ini bukan oleh “Amazon effect” sebagaimana dikatakan oleh banyak orang. Justru, standar kehidupan masyarakat yang semakin tinggi itulah yang menjadi akar penyebab dari semuanya.
Kalau kita banding-bandingkan dengan sekarang, orang-orang jaman dulu itu gampang sekali dipuaskan. Asalkan dapat memenuhi kebutuhan primer (atau beberapa kebutuhan sekunder), mereka akan puas.
Berbeda dengan keadaan saat ini, di mana orang-orang juga selain makin demanding juga makin memiliki kesibukan yang tinggi. Di beberapa negara juga saat ini sedang menuju fenomena bonus demografi, di mana banyaknya penduduk usia “sibuk” melebihi usia yang tidak sibuk atau non-produktif.
Kalau sudah sibuk dan susah keluar rumah, bagaimana mungkin bisa ke toko ritel fisik? Lagipula, toko ritel fisik memiliki jam buka. Bandingkan dengan online shop yang memiliki konsep “kapanpun dan di manapun”, maka kita juga tidak akan heran kalau fenomena macam “Kematian ritel” ini terjadi.
- Prediksi Punahnya Sektor Ritel Dalam Angka
Sejumlah lembaga pemeringkat di Amerika Serikat telah memprediksi kepunahan sektor ritel untuk sekitar 10 hingga 20 tahun mendatang. Adapun angka prediksi mereka gunakan dalam bentuk persentase dan juga mata uang U.S. Dollar.
Berdasarkan berbagai sumber yang saya baca, fenomena kematian sektor ritel di Amerika Serikat yang disebabkan oleh online shop ini diperkirakan dapat mencapai lebih dari 50%. Hal ini disebabkan karena pindahnya beberapa brand terkenal yang sebelumnya bergabung di dalam pusat perbelanjaan ke penjualan yang sepenuhnya online.
Selain itu, para investor juga lebih tertarik untuk berinvestasi pada berbagai usaha online shop yang memiliki prospek kenaikan penjualan, pangsa pasar, maupun harga saham. Adapun jumlah mata uang U.S. Dollar yang diprediksikan “pindah” dari ritel, mal, atau toko fisik ke ranah dunia maya atau online kira-kira US$500 Miliar hingga US$2,5 Triliun.
Baik persentase maupun angka rupiah prediksi kepunahan sektor ritel Amerika Serikat ini merupakan sesuatu yang harus ekstra-diperhatikan oleh pengusaha-pengusaha yang masih “bercokol” pada sektor ritel. Sebabnya, prediksi yang mengerikan ini juga dapat berdampak pada keseluruhan usaha dan ekonomi di Indonesia, yang dampaknya akan lebih lanjut saya bahas pada poin selanjutnya.
- Dampak Pada Usaha Dan Perekonomian di Indonesia
Sebagaimana telah saya katakan pada paragraf sebelumnya, segala sesuatu yang terjadi di Amerika Serikat selalu memengaruhi kelangsungan hidup negara-negara sekitarnya. Sebagai bagian dari dunia yang luas, Indonesia termasuk negara yang terkena imbas dari fenomena horor “Death of Retail” ini.
Saat ini pun kita sudah merasakan dampaknya, meskipun tidak terlalu masif. Munculnya berbagai start-up di bidang online shop seperti Tokopedia, Bukalapak, dan sejenisnya turut memengaruhi keputusan seseorang membeli hal-hal yang perlu bagi hidupnya. Lebih jauh, CEO Go-Jek, salah satu perusahaan penyedia jasa transportasi terbesar di Indonesia, adalah lulusan Harvard University di Amerika Serikat, sehingga ini juga ada keterkaitan dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
Selain itu, beberapa brand yang gulung tikar di Amerika Serikat adalah juga brand yang terkenal di Indonesia, seperti Guess yang penutupannya mencapai 60 cabang toko menurut pengamatan Business Insider. Jangan lupakan juga Electronic Arts yang memproduksi game-game sejuta umat seperti The Sims series. Perlahan tapi pasti, ini semua akan membuat orang-orang beralih dari membeli di toko atau mal menjadi membeli lewat sistem komputer official website perusahaan atau online store.
Dari sisi pedagang, kita bisa melihat banyaknya situs penyedia jasa freelancer yang terinspirasi dari situs-situs asal Amerika Serikat seperti Fiverr atau Upwork. Adanya Gobann, Projects.co.id, maupun Sribulancer di Indonesia dapat menjadi media efektif bagi pengusaha untuk memasarkan jasanya tanpa harus kepanasan ataupun kehujanan karena keluar rumah.
Demikianlah penjelasan lebih lanjut mengenai “Death of Retail”. Dari poin-poin penjelasan di atas, setidaknya kita tahu kalau fenomena yang menakutkan bagi sebagian besar pedagang ritel ini bukan disebabkan oleh Amazon, melainkan oleh standar hidup manusia yang meningkat. Kita pun juga tahu kalau online shop lebih memiliki prospek pada beberapa tahun belakangan ini, dan dampak dari kematian ritel (dan kebangkitan online shop) ini terasa hingga ke Indonesia dalam berbagai aspek.
Artikel Terkait
- Tip Belanja Lebaran dengan Kartu Kredit
- Cara Aman Memakai Kartu Kredit Di Pusat Perbelanjaan
- Biaya Surcharge Apakah Ilegal?
- Apa itu Secured Credit Card?
Demikianlah artikel tentang matinya mall di Amerika, “Death of Retail”, semoga bermanfaat.