Apa beda UMR, UMP dan UMK?
Sebagai karyawan yang aktif maupun yang sedang mencari kerja, pasti sudah sering mendengar istilah UMR, UMP dan UMK. Terutama ketika membaca sebuah lowongan pekerjaan, banyak yang menjanjikan upah sesuai dengan UMR. Sebenarnya apa perbedaan dari UMR, UMP dan UMK? Mengapa yang paling sering dipakai sebagai acuan adalah UMR? Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan UMR, UMP dan UMK sehingga dapat membantu untuk lebih mengerti standart gaji yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pengertian dari UMR, UMP dan UMK
Definisi dan penetapan UMR, UMP dan UMK diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
- Upah Minimum adalah standart yang ditetapkan oleh pemerintah sehubungan dengan upah yang diterima oleh pegawai/karyawan di sebuah badan usaha yang terdiri dari upah pokok bulanan termasuk tunjangan tetap (biasanya meliputi, namun tidak terbatas pada, uang makan, uang transport, tunjangan kesehatan, asuransi dan lainnya)
- UMR adalah Upah Minimum Regional yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman dengan cakupan wilayah provinsi. Dahulu, UMR banyak menjadi acuan dalam penetapan nominal gaji sehingga istilah ini banyak dikenal di masyarakat. Namun dengan peraturan kementrian ketenagakerjaan yang baru, istilah ini sudah tidak digunakan lagi dan digantikan oleh UMP dan UMK.
- UMP adalah Upah Minimum Provinsi yang menggantikan UMR. Cakupan wilayahnya adalah seluruh wilayah dalam satu provinsi baik kota maupun kabupaten.
- UMK adalah Upah Minimum Kota/ Kabupaten yang mencakup satu wilayah kota atau kabupaten tertentu. Penetapannya dipengaruhi oleh otonomi daerah dan UMP dimana kota/kabupaten tersebut berada.
Dari penjelasan diatas, upah minimum masih dapat dibagi kembali menjadi UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi) dan UMSK (Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten). Penetapannya berdasarkan sektor atau bidang usaha yang dikerjakan oleh sebuah badan usaha, misal sektor otomotif, sektor bangunan dan pekerjaan umum, sektor sumber daya dan perindustrian, dan lain sebagainya.
UMP dan UMK dapat dilihat dan dicari dengan mudah karena biasanya ditetapkan oleh peraturan gubernur dan peraturan daerah (perda). Informasi ini dapat diakses di situs-situs resmi ketenagakerjaan pemerintah maupun melalui informasi lisan di badan pusat ketenagakerjaan pemerintah. Adapun dalam penetapannya UMP selalu lebih rendah dari UMK karena menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi di tiap kota/kabupaten. Namun UMK terendah dalam suatu provinsi biasaya sama dengan nilai UMP yang telah ditetapkan.
Walau demikian, tidak menutup kemungkinan suatu badan usaha tidak mampu membayar karyawan sesuai dengan standart yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini, pemilik badan usaha bisa mengajukan penangguhan kepada Gubernur provinsi dimana perusahaan tersebut berpusat. Hali ini diatur dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan, dimana umumnya pengusaha tetap harus membayar upah pekerja sesuai dengan ketetapan pemerintah selama proses penangguhan masih berlangsung.
Gubernur berhak menolak dan menyetujui penangguhan tersebut dan menerbitkan Surat Keputusan (SK) khusus bagi perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan yang telah mengajukkan penangguhan wajib menaati nominal yang telah ditetapkan pada SK dalam hal membayar upah bulanan. Pelanggaran terhadap pembayaran UMP dan UMK akan mendapatkan sanksi tersendiri dari pemerintah.
Sanksi terhadap pelanggaran penetapan UMP dan UMK
Apabila karyawan/pegawai tidak mendapatkan upah bulanan sesuai ketetapan pemerintah daerah, maka karyawan/pegawai berhak mengambil jalur hukum dalam menyelesaikan permasalahan ini. Adapun prosedur penyelesaian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”). Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memperjuangkan standard upah minimum oleh karyawan/pegawai:
- Karyawan dapat mengajukan perundingan bipartit antara perwakilan karyawan dan pemilik perusahaan. Perundingan ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi kedua belah pihak secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
- Setelah melewati tengat waktu 30 hari, apabila kesepakatan antara keduabelah pihak masih belum juga terwujud, maka upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit. Perundingan ini dilakukan antara perwakilan karyawan dan pemilik perusahaan dengan melibatkan perwakilan dari Dinas Ketenagakerjaan sebagai mediator. Untuk mencapai tahap ini, maka karyawan perlu menampilkan bukti-bukti kongkrit dan melapor kepada Dinas Ketenagakerjaan terlebih dahulu. Sertakan juga bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan sebelumnya, namun belum ada kesepakatan yang bisa dicapai dengan baik.
- Apabila setelah melakukan perundingan tripartit belum ada hasil yang bisa memuaskan kedua belah pihak, maka jalur peradilan akan ditempuh. Salah satu pihak bisa mengajukan masalah ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial dan jalur hukum formal akan ditempuh melalui sidang di pengadilan.
Selain jalur hukum diatas, penetapan upah minimum juga diatur mengikat baik bagi pengusaha dan karyawan mulai dari penetapan upah bulanan pada saat penandatanganan kontrak kerja. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum, kesepakatan antara pengusaha dan karyawan mengenai pembayaran upah di bawah standard minimum adalah void atau batal demi hukum selama penangguhan tidak disahkan oleh pihak yang berwenang.
Oleh karena itu, walaupun telah ada kesepakatan di awal antara pengusaha dan karyawan, selama pemerintah daerah tidak menerbitkan Surat Keputusan, maka perusahaan tetap wajib membayar upah bulanan sesuai dengan UMK atau UMP yang berlaku.
Artikel Terkait
- Perbedaan Gaji dengan Upah
- Perbedaan GDP dengan GNP
- Inilah Beberapa Perbedaan antara BI dan OJK
- Apa Beda Saham dan Obligasi?
Demikianlah artikel tentang beda UMR, UMP dan UMK, semoga bermanfaat bagi anda semua.