Belanja Kartu Kredit Kompulsif Dapat Menyebabkan Kredit Macet
Saat pertama membaca mengenai “kompulsif”, biasanya yang di pikiran kita adalah orang-orang perfeksionis. Maka, ini tidak masuk akal, karena bagaimana bisa orang perfeksionis yang identik dengan ketepatwaktuan dan kerapian dapat membelanjakan kartu kredit yang ujung-ujungnya menyebabkan kredit macet?
Sebenarnya, yang dimaksudkan dengan “belanja kompulsif” adalah belanja terus-menerus karena ketagihan akan berbagai kenikmatan dan fasilitas yang melekat pada kartu kredit tertentu. Seringkali, pembelanjaan seperti ini lebih didasarkan pada emosi sesaat, sehingga membuat orang menjadi gelap mata mengenai hal-hal yang “mengintip” di balik pembelanjaan yang ia lakukan.
Karenanya, jelas belanja kartu kredit secara kompulsif bukanlah sesuatu yang baik, apalagi terus-terusan dilakukan. Artikel yang merupakan rangkuman dari jurnal sesungguhnya ini akan membahas secara spesifik faktor-faktor “kecil”, yakni kelompok orang dengan sifat jelek yang ikut menjadi pemicu alasan belanja kredit kompulsif yang menyebabkan kredit macet:
1. Terlalu Nyaman Bertransaksi Menggunakan Kartu Kredit
Beberapa tahun belakangan ini, kartu kredit menjadi primadona yang kehadirannya dibutuhkan oleh berbagai kalangan untuk menyelesaikan transaksi mereka. Banyak orang ingin memiliki kartu kredit dengan berbagai macam alasan yang sesuai dengan kelompok umur maupun pendidikan masing-masing.
Alasan kenyamanan bertransaksi menggunakan kartu kredit merupakan alasan yang paling sering dipakai oleh orang-orang berusia lebih dari 30 tahun dan memiliki pendidikan tinggi, yakni sarjana atau pascasarjana. Amannya bertransaksi menggunakan kartu kredit ini bukan tanpa alasan, faktanya dapat membuat keuangan seseorang menjadi lebih cair. Di saat yang sama, kondisi keuangan yang seolah-olah lancar ini dapat membutakan mata orang-orang.
Ada kalanya kita merasa nikmat untuk terus berada pada zona aman. Sudah tahu penggunaan kartu kredit itu aman, maka kita pun tanpa sadar terus-menerus menggunakan kartu kredit. Dari sana, perilaku belanja kita makin menjadi kompulsif. Meski tidak berpengaruh langsung, inilah sebuah “lampu merah” menuju kredit macet.
2. Sifat Dasar Yang Boros
Penelitian Sumarto dkk. (2011) dalam kaitannya dengan penggunaan kartu kredit dan perilaku belanja konsumtif menunjukkan adanya kelompok orang yang mengincar manfaat maksimal dari kartu kredit. Menurut Sumarto dkk. (2011), orang-orang ini umumnya tergolong kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Pada dasarnya, orang-orang yang kelas ekonominya cenderung menengah ke bawah akan langsung menjadi senang ketika mendapatkan “uang tambahan”, termasuk manfaat kartu kredit yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya. Jadilah ketika permohonan kartu kredit mereka disetujui, mereka “ngelunjak” dengan belanja sebanyak-banyaknya tanpa berpikir dua kali mengenai anggaran keuangan ataupun pendapatan mereka.
Ada suatu titik di mana sikap mereka yang boros dalam urusan berbelanja ini membuat mereka lupa daratan. Tahu-tahu, tagihan kartu kredit mereka membengkak dan mereka menjadi orang-orang yang gagal bayar. Karena tidak ada itikad baik untuk membayar tagihan, maka orang-orang boros pengincar manfaat maksimal ini dapat menjadi penyebab belanja kartu kredit kompulsif yang berujung pada macetnya aliran pinjaman kredit nasabah selanjutnya.
3. Salah Mengerti Kartu Kredit Sebagai “Kartu Hutang” Dan Suka Menunda Kewajiban Melunasi Cicilan
Di satu sisi, salah kaprah ini ada benarnya, karena bagaimanapun juga kartu kredit pasti berhubungan sangat erat dengan cicilan. Karena itu, pembayaran kartu kredit hampir selalu melibatkan cicilan atau angsuran berbunga tiap periodenya. Terlepas dari itu semua, tetap ada beberapa orang yang salah mengerti soal natur kartu kredit.
Mentang-mentang kartu kredit adalah “kartu hutang” yang dapat dicicil kapan saja, orang-orang tidak bertanggungjawab ini berbelanja terus-menerus dengan teledornya. Mereka sibuk mencari brand-brand berkelas yang sekiranya dapat meningkatkan prestise-nya. Pikir mereka, ‘kan nanti bisa dicicil pembayarannya?
Ya… Mereka boleh saja mencicil terus-menerus. Membayar kemudian dan mendapatkan produk serta manfaat dari produk barang atau jasa yang telah lama mereka incar. Namun, jangan salah, sikap suka menunda-nunda pembayaran cicilan ini sama berbahayanya dengan sikap boros yang disebabkan oleh perilaku belanja kartu kredit kompulsif.
Bagaimanapun juga, menunda-nunda adalah tanda seseorang tidak memprioritaskan pelunasan hutang yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Intens atau sering berbelanja dengan kartu kredit boleh-boleh saja, tapi juga harus ingat dampak yang akan ditimbulkan kalau suka menunda kewajiban.
Kegagalan dalam melakukan langkah ini akan berakibat seseorang menjadi gagal bayar. Pada akhirnya, perilaku belanja kartu kredit yang kompulsif menyebabkannya menjadi salah satu dari kelompok orang yang menyebabkan kredit macet dan orang-orang lain jadi tidak lancar dalam mendapatkan pinjaman kredit. Wah, sedih, ya?
Jadi, itulah ketiga macam sifat atau perilaku yang dapat memicu perilaku belanja kartu kredit kompulsif dan berujung pada kredit macet. Secara umum, yang ingin saya sampaikan adalah belanja kartu kredit secara kompulsif dapat menyebabkan kredit macet, namun yang lebih penting adalah faktor-faktor “kecil” berupa sifat atau perilaku yang ikut bermain di dalamnya.
Sekadar informasi, artikel ini merupakan rangkuman dari jurnal Manajemen Pemasaran Universitas Kristen Petra oleh Sumarto dkk. (2011) yang berjudul “Penggunaan Kartu Kredit Dan Perilaku Belanja Kompulsif: Dampaknya Pada Risiko Gagal Bayar”.
Artikel Terkait
- Nasabah Sakit dan Tagihan Datang Terus, Apa yang Harus Dilakukan?
- Kartu Kredit Tanpa Bunga? Ya Kartu Kredit Bank Syariah
- Cara Isi Google Wallet Tanpa Kartu Kredit
- Tip Agar Bebas Bunga Setelah Belanja Pakai Kartu Kredit
Demikian artikel tentang belanja Kartu Kredit Kompulsif, semoga bermanfaat.