Mau Tahu Pengeluaran Perokok di Indonesia? Ternyata Hasilnya Mengejutkan!
Indonesia masih menjadi surga bagi perokok. Di manapun saja orang masih bisa merokok dengan bebas meski ada banyak tanda larangan merokok di dekat mereka. Bahkan, gambar menyeramkan yang terpampang di semua bungkus rokok di Nusantara, dilengkapi dengan berbagai ancaman yang menyertai, tak mampu menghalau para konsumennya untuk berhenti merokok dan menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bermartabat.
Merokok jelas merupakan kebiasaan yang tidak baik, karena berpotensi merugikan orang lain yang tidak merokok alias perokok pasif. Bukan hanya dampak yang buruk terhadap kesehatan saja yang menjadi masalah yang ditimbulkan oleh rokok, tapi ada banyak hal lain yang lebih terkait dengan estetika yang menjadikan seorang perokok tak pernah menarik. Baju dan celana pasti penuh lubang hitam kecil. Belum lagi badan yang badan yang bau rokok. Berbeda dengan aroma harum, bau rokok yang ada di baju seseorang cenderung menempel ke orang lain dalam jangka waktu cukup lama meski tidak bersentuhan secara langsung.
Sementara itu dari segi kesehatan, ada banyak ancaman yang mengintai; mulai dari penyakit jantung, kanker paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorokan hingga aneka dampak merugikan terhadap kesehatan janin, bayi dan ibu hamil. Ada banyak pembelaan atas penyakit tak menular gara-gara rokok; menyitir komplikasi dengan penyakit lain atau gaya hidup tidak sehat sebagai pemicunya. Namun, tidak bisa dipungkiri ada sejumlah penyakit yang benar-benar mereda setelah penderitanya berhenti merokok secara total.
Namun, dari semua fitur merugikan dari pengeluaran perokok adalah rusaknya kehidupan finansial (baca: boros dan pemborosan). Terlebih lagi bagi perokok yang mengkonsumsinya secara eceran. Itu jelas lebih mahal ketimbang beli satu boks secara langsung. Yang lebih memprihatinkan adalah kebiasaan merokok justru marak di tengah-tengah masyarakat yang secara perekonomian tidak sehat; miskin, menengah, hingga menengah ke atas. Mereka yang ada di kelompok akar rumput bahkan ada kalanya lebih mementingkan merokok daripada mengkonsumsi lauk pauk yang sehat dan bergizi.
Memang, ada banyak cara orang merokok, tergantung kebiasaannya. Dan, untuk itu, perokok aktif dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yakni:
1. Perokok berat
Yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang merokok lebih dari 3 bungkus per hari. Dengan asumsi rokok yang dibeli adalah Rp 17.000,- per bungkus, maka pengeluaran satu orang adalah Rp 1.530.000,- per bulan hanya untuk membeli rokok atau sekitar Rp. 18.360.000,- per tahun
2. Perokok sedang
Jumlah rokok yang dikonsumsi antara 1 hingga 3 bungkus rokok per hari. Dengan harga rokok Rp 17.000,- per bungkus, maka pengeluaran per bulan untuk rokok mulai dari Rp 510.000,- hingga Rp 1.530.000,- per bulan atau antara Rp 6.120.000,- sampai dengan Rp 18.360.000,- per tahun
3. Perokok ringan
Jumlah rokok yang dikonsumsi kurang dari 1 bungkus per hari. Dengan harga rokok Rp 17.000, maka pengeluaran yang bersangkutan per bulannya adalah kurang dari Rp 510.000,- per bulan atau Rp 6.120.000,- per tahun
Menurut survei yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah perokok di Indonesia sekitar 90 juta orang. Ini perokok aktif. Dengan begitu, uang yang habis terbakar menjadi rokok di negara ini diperkirakan ada di antara 45,9 triliun rupiah hingga 1.600 triliun rupiah per tahun.
Dengan nilai anggaran pemerintah yang tertuang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia alias APBN, misalkan dalam hal ini adalah APBN 2016, yang mencantumkan pendapatan sekitar Rp 1.750 triliun dan pengeluaran sekitar Rp 2.080 triliun, sudah barang tentu terlihat dengan jelas bahwa kebiasaan merokok di tengah masyarakat merupakan praktik yang sangat tidak produktif secara finansial. Dana sebesar itu, misalkan yang paling minimum, yakni 45,9 triliun rupiah, akan lebih baik tidak dibelanjakan oleh rakyat dan ditempatkan di bank sebagai ‘bahan bakar’ pembangkitan perekonomian atau dijadikan dana pribadi mereka untuk membuka usaha secara mandiri.
Dari tahun ke tahun nilai ini menjadi membengkak karena usia perokok yang relatif lebih muda, yakni berkisar antara usia 10 hingga 14 tahun. Di sisi lain, pemain besar industri rokok terus mencari untung dengan merekrut pemain lebih muda, yang menganggap merokok itu gaya dan macho. Padahal, jelas bahwa itu hanyalah propaganda. Tidak lebih dari sekedar propaganda yang benar-benar mengecoh dan tidak mendidik.
Masih maraknya propaganda semacam ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah sendiri tidak memiliki komitmen yang rendah terhadap upaya penyadaran bahaya merokok dan berbagai bentuk kerugian yang ditimbulkan darinya. Fakta bahwa penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok mengurangi produktivitas dan kinerja pengidapnya serta tingginya biaya pengobatan, yang sangat memberatkan warga negara yang miskin, seharusnya menjadi dasar dikenakannya pajak yang jauh lebih tinggi atas rokok. Hanya dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi saja kebiasaan merokok dapat dikurangi di tengah masyarakat sebagaimana diberlakukan oleh banyak negara.
Artikel Terkait
- Kamar Mau Disewakan di Airbnb? Ini Tip Memulai Bisnis Airbnb!
- Berani Jadi Milyader? Ini Tip Kalau Ingin Jadi Milyader!
- Keuntungan Membeli Surat Utang Negara (SUN)
- Adakah Negara yang Gagal Membayar Utang Negara? Ini Dia Daftarnya!
Demikianlah artikel tentang pengeluaran perokok di Indonesia, semoga bermanfaat bagi Anda semua.