Kami menyediakan berbagai simulasi kredit, dari kredit mobil, kredit rumah, kpr, kartu kredit dan lain-lain. Simulasi pinjaman bisa juga dilakukan di sini.

P2P Lending Bangkrut? P2P Lending Penipu? Ini di China!

China merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan dan perkembangan layanan pinjaman online P2P (peer-to-peer) tercepat dan terbesar di dunia. Pinjaman online berbasis P2P di negeri tirai bambu ini bahkan nilainya diperkirakan mencapai $ 217,96 miliar. Nilai pinjaman yang luar biasa besar. Namun di balik kisah sukses pinjaman online P2P di China, terselip kisah tragis di mana tak sedikit P2P lending yang menghadapi krisis hingga akhirnya mengalami kebangkrutan.

Seiring dengan banyaknya platform pinjaman P2P yang tumbang, gelombang demonstrasi dari para investor yang tidak bisa menarik dana dan berpotensi kehilangan dananya terus mengalir. Para investor yang merupakan korban dari bangkrutnya platform P2P tersebut menuntut dan menekan pemerintah untuk menyusun skema pengembalian dana yang mereka investasikan dalam pinjaman online P2P.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan P2P lending di China? Mengapa banyak P2P yang mengalami krisis eksistensial hingga tenggelam dalam kebangkrutan? Ada cukup banyak penyebab bangkrutnya P2P di China, beberapa di antaranya sebagai berikut.

  • Gagal bayar pinjaman

Banyaknya mobilisasi dana atau modal dalam pinjaman online P2P di China menunjukkan bahwa industri ini berkembang sangat pesat. Sebagai salah satu alternatif investasi dan solusi mendapatkan pinjaman dengan proses cepat dan mudah, kehadiran P2P mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat. Buktinya banyak masyarakat yang berpartisipasi dan bergabung dalam P2P baik sebagai investor atau pemberi pinjaman maupun peminjam.

Sebagai alternatif lembaga kredit, P2P lending menawarkan keuntungan bagi para pihak baik investor maupun peminjam. Investor dijanjikan akan mendapatkan keuntungan berupa tingkat pengembalian yang tinggi. Sementara peminjam dijanjikan proses cepat dengan persyaratan yang mudah dan tingkat suku bunga bersaing. Faktanya, peminjam dibebani dengan tingkat suku bunga tinggi agar operator atau pengelola pinjaman P2P bisa memberikan tingkat keuntungan yang dijanjikan kepada para investor.

Tingginya suku bunga pinjaman online P2P justru menjadi bumerang bagi investor. Peminjam tak mampu membayar kembali pokok pinjaman beserta dengan bunganya dalam jangka waktu yang ditentukan. Akibatnya kredit macet, karena peminjam mengalami gagal bayar pinjaman. Alih-alih mendapatkan keuntungan yang dijanjikan, dana atau modal investor yang dipinjamkan justru hilang. Kerugian ini mengakibatkan operator P2P menghentikan operasionalnya dan tidak mampu mengembalikan dana kepada para investor.

  • Modus penipuan dengan skema Ponzi

Tumbangnya P2P lending di China tak semata-mata disebabkan oleh gagal bayarnya peminjam yang mengakibatkan operator platform pinjaman tidak dapat membayar para investor. Penurunan kinerja P2P juga disebabkan oleh adanya praktik penipuan dengan modus pinjaman online. Beberapa platform P2P menggalang dana dari investor dengan menerapkan skema Ponzi.

Dari praktik penipuan tersebut, operator platform P2P menampung dan mengelola dana dari investor seolah-olah dana tersebut disalurkan dalam bentuk pinjaman online, namun sebenarnya tidaklah demikian. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan operator platform P2P terkait dengan terus menggalang dana dari investor baru. Dana yang diperoleh dari investor baru tersebut digunakan untuk membayar investor lama yang seolah-olah merupakan hasil dari pengembalian pinjaman online.

Ketika operator P2P tak lagi mampu menjaring investor baru, artinya arus dana mengalami kemacetan. Akibatnya, para investor baru tidak mendapat keuntungan yang dijanjikan, sebab tidak ada lagi dana yang bisa diputar. Parahnya, para operator platform P2P tersebut justru kabur dengan membawa dana investornya.

  • Masalah likuiditas pinjaman P2P

Banyaknya platform pinjaman P2P di China tak semuanya memiliki legalitas yang operasionalnya di bawah pengawasan pemerintah. Tak sedikit pula yang beroperasi secara ilegal, di mana mekanismenya tidak sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan pemerintah China dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja P2P.

Sebagai lembaga kredit non-bank, platform pinjaman online P2P yang dikelola oleh perusahaan berbasis fintech (financial technology) seharusnya memiliki tingkat likuiditas yang tinggi. Artinya, perusahaan tersebut harus memiliki aset likuid yang cukup untuk menjamin pinjaman yang disalurkan kepada nasabah peminjam. Namun faktanya tidaklah demikian.

Platform P2P lending hanya bertindak sebagai jembatan yang mempertemukan kepentingan investor sebagai pemilik dana dengan nasabah sebagai peminjam dana. Selain itu, operator P2P juga mengelola dana dari investor yang akan disalurkan kepada nasabah dan mengelola dana pengembalian dari nasabah untuk kemudian dibayarkan kepada investor. Namun, pengelolaan dana tersebut seolah kurang memperhatikan tentang masalah likuiditas. Perusahaan fintech sebagai pengelola platform P2P tidak memiliki tingkat likuiditas yang cukup untuk menjamin pinjaman. Hal ini menyebabkan kegagalan dalam pengelolaan pinjaman P2P.

  • Kepanikan investor menarik dana

Kabar tentang krisis eksistensial yang dialami pengelola pinjaman P2P di China begitu cepat tersebar. Hal ini menimbulkan kepanikan dari para investor, sehingga melakukan penarikan dana secara bersamaan. Tingkat likuiditas yang rendah mengakibatkan pengelola pinjaman P2P kewalahan. Akibatnya, pengelola P2P mengalami gagal bayar terhadap investor. Artinya, pengelola P2P tidak mampu mengembalikan dana yang diinvestasi sekaligus keuntungan yang dijanjikan.

Kepanikan investor muncul sebab mereka ingin memastikan bahwa dana yang diinvestasikan aman-aman saja. Namun faktanya tidaklah demikian. Mereka tidak bisa menarik kembali dananya, bahkan menghadapi risiko kehilangan dana tersebut. Impian mendapatkan keuntungan yang menggiurkan dari investasi melalui P2P seketika buyar dan berganti dengan petaka. Kemandirian finansial yang disiapkan untuk masa yang akan datang terancam tak bisa lagi diwujudkan.

Kegagalan pengelola pinjaman P2P membayar dana investor menjadi pukulan telak terutama bagi para investor. Mereka tidak terlindungi secara hukum. Akibatnya, mereka tidak bisa menuntut pengembalian dana dari pengelola P2P tersebut.

Permasalahan yang dihadapi pengelola pinjaman P2P di China merupakan pelajaran bagi semua pihak dalam menyikapi industri pinjaman online, baik bagi investor, nasabah, pemerintah, dan perusahaan fintech selaku pengelola P2P itu sendiri. Banyaknya P2P lending yang bangkrut di China sekaligus menjadi ‘seleksi alam’ atas menjamurkan platform pinjaman P2P, terutama yang ilegal. Adanya risiko kegagalan ini menjadi peringatan bagi investor dan nasabah untuk memilih pengelola P2P yang legal dan aman. Sementara bagi pemerintah, kehadiran platform pinjaman P2P bisa menjadi alternatif yang memudahkan masyarakat dalam mendapatkan dana atau modal dengan proses cepat dan persyaratan yang mudah, sehingga perlu ditetapkan regulasi yang jelas dan melindungi para pihak secara hukum.

Artikel Terkait

Demikianlah artikel tentang P2P Lending bangkrut di China, semoga bermanfaat bagi Anda semua.



Mengapa WeChat & AliPay Popular di China?
Apa itu LinkAja (Dulu TCash)?
Ezubao: Kasus Penipuan P2P Lending dengan Skema Ponzi
Untung Rugi dalam Bisnis Peer To Peer (P2P) Lending
Waspada Fintech P2P Ilegal dari Cina
Apa itu One Belt One Road (OBOR) China?
Memahami Tentang China Debt Trap Dan Konsekuensinya
Apa itu Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI)?
5 Peer to Peer Lending di Indonesia yang Patut Diperhitungkan
Risiko P2P lending dari Segi Investor


Bagikan Ke Teman Anda