Harga Minyak Minus, Apa Faktor dan Bagaimana Sejarahnya Terjadinya?
Beberapa hari terakhir, dunia tengah digegerkan dengan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) yang anjlok hingga minus USD 37,63 per barel. Minyak jenis WTI atau yang lebih dikenal dengan nama light sweet ini biasanya jadi acuan Amerika Serikat. Pasalnya, WTI dijadikan underlying asset untuk harga komoditas minyak mentah kontrak New York Merchantile Exchange (NYMEX).
Anda boleh percaya atau tidak, tapi fenomena harga minyak berada di bawah angka nol ini adalah untuk yang pertama kalinya. Tak heran, jika pada akhirnya topik ini jadi bahan perbincangan para tokoh elit dunia.
Apa maksud dari harga minyak minus?
Sebelum memahami lebih dalam soal harga minyak minus, pertama-tama Anda harus tahu lebih dulu mengapa harga minyak sampai jatuh jauh di bawah nol. Salah satu alasannya karena permintaan minyak turun akibat pasokan yang membanjiri pasar. Tak hanya itu saja, fasilitas penyimpanannya, terutama di Amerika Serikat telah penuh.
Oleh sebab itulah, beberapa pembeli rela menukarkan minyak yang mereka miliki dengan harga murah karena keterbatasan ruang penyimpanan. Beberapa produsen berpendapat, menghentikan produksi dan menemukan tempat untuk menyimpan sisa persediaan yang telah keluar dari dalam tanah jauh lebih murah. Pasalnya, menutup sumur dikhawatirkan justru merusak produksi minyak secara permanen sehingga tidak ekonomis untuk masa depan.
Alasan lain kenapa harga minyak minus karena para trader memang tidak ingin menerima fisik minyak sehingga terperangkap dalam penurunan harga. Satu-satunya pilihan adalah menyimpan atau menjualnya meskipun mengalami kerugian yang cukup besar.
Melansir dari Bloomberg, bagi produsen minyak tersebut, menjual dengan harga minus jauh lebih baik ketimbang harus mengisi bak mandi mereka dengan minyak. Mereka anggap pilihan tersebut adalah pilihan terbaik meski harus merugi di pasar dunia. Tak heran, jika meluapnya pasokan minyak ini pada akhirnya membuat tempat penyimpanan menjadi langka dengan harga yang semakin melonjak.
Mengapa pasokan minyak mentah bisa membludak?
Pertanyaan berikutnya yang masih cukup membingungkan adalah kenapa pasokan minyak mentah ini bisa membludak. Jawabannya cukup sederhana, yaitu serangan virus corona dan perang harga yang membuat permintaan minyak melonjak.
Ketika virus corona menyebar di lebih dari 200 negara di dunia, otomatis tingkat mobilitas orang pun berkurang drastis. Tak hanya itu saja, perang para produsen minyak OPEC+ dan Rusia yang justru menggenjot produksi saat pandemi virus ini menyebar. Alhasil, produksi minyak dunia mencapai rekor tertinggi yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Sebenarnya, OPEC, Amerika Serikat, Rusia, dan G20 telah sepakat untuk mengurangi produksi minyak mentah sekitar 10 persen. Namun kemudian, mereka merevisi angka tersebut karena dinilai terlalu sedikit.
Dilansir dari Bloomberg, stok minyak mentah di Cushing, Oklahoma, pusat penyimpanan minyak di Amerika Serikat dan titik pengiriman minyak WTI telah melonjak sekitar 48 persen. Nilai ini sama dengan hampir 55 juta barel sejak akhir Februari lalu.
Menurut data yang diterima oleh Energi Information Administration, pusat penyimpanan minyak ini memiliki kapasitas sebesar 76 juta barel pada akhir September 2019 lalu. Industri terkait pun telah mencoba mempertimbangkan untuk menyimpan di atas kapal, tapi tetap belum bisa mengatasi persoalan ini.
Bahkan, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump juga telah mencari cara agar para pengebor menghentikan sementara aktivitas pengeboran minyak tersebut. Tentu saja, tujuannya agar harga minyak mentah dunia bisa kembali pulih dari keterpurukan.
Apa dampak negatif harga minyak minus bagi konsumen?
Hampir di seluruh negara, harga bahan bakar rata-rata mengalami penurunan lebih dari USD 1 per galon pada tahun 2019 lalu menjadi USD 1,81. Harga tersebut terus merosot jatuh setiap hari sejak akhir Februari 2020.
Setidaknya, butuh waktu beberapa minggu lagi untuk penurunan harga berjangka. Namun dengan adanya pajak dari beberapa negara, harga di tiap negara sudah pasti mengalami perbedaan.
Faktor penyebab harga minyak mentah dunia anjlok
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan harga minyak mentah dunia anjlok hingga minus, antara lain:
- Berakhirnya kontrak berjangka tanpa perpanjangan apapun
Melansir dari New York Times, kontrak berjangka yang mengharuskan pembeli memiliki minyak pada bulan Mei esok telah berakhir sekitar seminggu yang lalu. Parahnya, tidak ada satupun yang memperpanjang kontrak tersebut karena merasa tidak membutuhkan pasokan minyak. Hal ini terjadi lantaran tak ada lagi tempat untuk menyimpannya.
Sementara kontrak untuk periode pengiriman di bulan Juni 2020 masih diperdagangkan sekitar USD 22 per barel. Nilai tersebut mengalami penurunan hingga 16 persen.
Perlu Anda ketahui, kontrak berjangka merupakan kontrak untuk pengiriman fisik komoditas atau efek tertentu yang mendasarinya.
- Kelebihan pasokan
Pusat penyimpanan minyak yang diperdagangkan di pasar berjangka Amerika Serikat, tepatnya di Cushing, Oklahoma mengalami kelebihan pasokan. Berdasarkan data di lapangan, saat ini Cushing hanya memiliki sisa 21 juta barel untuk penyimpanan gratis dari total kapasitas 80 juta barel minyak mentah.
Karibia dan Afrika Selatan telah mengisi sebagian besar sisa kapasitas penyimpanan tersebut. Sementara Nigeria, Brasil, dan Angola mungkin akan kehabisan kapasitas gudang dalam waktu beberapa hari ke depan.
- Menurunnya permintaan, padahal pasokan minyak sangat berlimpah
Meski ada kesepakatan yang terjalin dari pihak Rusia, Arab Saudi, dan negara-negara lain untuk mengurangi produksi, tapi tetap saja tak ada lagi tempat untuk menyimpan semua minyak yang terus dipompa. Padahal, setiap harinya ada sekitar 100 juta barel minyak mentah yang dipompa keluar dari dalam tanah.
- Produksi minyak masih belum berhenti
Dikutip dari Dallas News, kurangnya tempat penyimpanan dikombinasikan dengan tingginya jumlah produksi ketimbang permintaan menyebabkan jatuhnya harga minyak yang cukup drastis. Padahal, permintaan telah turun sebanyak 30 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Tak heran, jika kemudian angka konsumsi minyak dunia yang awalnya sekitar 100 juta barel per hari menjadi sekitar 70 juta barel saja per hari. Parahnya, tak ada tempat untuk menyimpan kelebihan produksi minyak-minyak tersebut.
Apa solusi agar harga minyak mentah dunia bisa kembali stabil?
Dallas News berpendapat, harga minyak harus kembali hingga mencapai angka USD 50 per barel agar pengeboran di Permian Basin bisa bermanfaat. Bukan hanya itu saja, sumur-sumur produksi pun membutuhkan minyak sekitar USD 25 hingga USD 30 per barel untuk mencapai titik impas.
Langkah yang terbilang cukup ekstrem tersebut menunjukkan betapa kelebihan pasokan pasar minyak Amerika Serikat dengan aktivitas industri dan ekonomi terhenti. Seperti yang kita tahu, ini semua terjadi akibat lockdown di sejumlah negara karena wabah corona atau covid-19.
Banyak tanda-tanda kelemahan yang terlihat. Bahkan, sebelum jatuhnya harga minyak sekitar satu minggu lalu, seorang penjual di Texas pernah menawarkan produknya sekitar USD 2 per barel.
Sementara itu, di Asia sendiri, para bankir juga semakin enggan memberikan kredit pada pedagang komoditas demi bertahan hidup. Tentu saja ini dilakukan karena pemberi pinjaman takut menghadapi risiko gagal bayar yang cukup besar.
Sejarah merosotnya harga minyak dunia sebelum terjadinya pandemi corona
Sepanjang sejarah, belum pernah sama sekali terjadi harga minyak minus. Penurunan tajam ini tentu saja menjadi hantaman terberat, apalagi untuk negara-negara eksportir minyak yang masih terpukul pasca jatuhnya harga mulai 2014 silam.
Saat itu, harga minyak mentah terjun bebas dari sekitar USD 100 per barel ke kisaran USD 30 per barel di awal 2016. Nilai ini menjadi yang terendah dalam kurun waktu 12 tahun terakhir akibat berlimpahnya stok dari berbagai negara produsen.
Sementara itu, produksi shale oil Amerika Serikat mencapai puncaknya di tahun 2012 sampai 2014 dan membanjiri pasar dalam negerinya. Di tengah kondisi rumit seperti ini, negara-negara eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC, mencatatkan produksi yang melebihi target demi mempertahankan pangsa pasar. Padahal, permintaan minyak dunia tidak sesuai ekspektasi seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
OPEC akhirnya memutuskan untuk memangkas produksi demi mengembalikan stabilitas harga. Strategi tersebut dinilai berhasil karena pada akhirnya harga minyak dunia mulai menapak naik di tahun 2018 ke kisaran USD 50 sampai USD 60 per barel. Bahkan, harga Brent sempat menyentuh level USD 70 per barel.
Selain karena adanya pemangkasan produksi oleh OPEC, kenaikan ini terjadi akibat masalah geopolitik. Hal ini terkait sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap dua negara anggota OPEC lainnya, yaitu Venezuela dan Iran.
Namun, kenaikan lebih lanjut harga minyak pada akhirnya tertahan juga. Angkanya hanya bergerak di kisaran USD 60 per barel seiring konsumsi minyak yang lebih lemah dari ekspektasi imbas berlanjutnya perlambatan ekonomi dunia. Tekanan terhadap ekonomi dunia, terutama berasal dari perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang berisiko meluas hingga negara lain.
Di tengah ketidakpastian yang membingungkan tersebut, wabah virus corona tiba-tiba menyebar dengan cepat dan menjadi pandemi global. Kejadian tersebut memaksa hampir semua negara di dunia melakukan pembatasan aktivitas sosial dan bisnis berskala besar. Alhasil, stok minyak mentah pun kembali melimpah. Harga yang terus menurun sejak awal tahun ini semakin merosot tajam pada akhir Februari lalu.
Di awal Maret, Rusia sempat menolak usulan pemangkasan lebih jauh produksi minyak dalam pertemuan dengan negara-negara eksportir minyak dan aliansinya, yaitu OPEC+. Hal ini tentu saja memicu terjadinya perang harga selama satu bulan lamanya antara Rusia dan Arab Saudi. Beruntung, perang harga ini berakhir setelah OPEC+ sepakat memangkas produksi minyak sebesar 10 persen per hari setelah pertemuan di awal April lalu.
Namun masalahnya, permintaan minyak turun sebanyak 30 juta barel per hari, bahkan cenderung melebihi angka tersebut. Alhasil, jatuhnya harga minyak dunia tak bisa terelakkan. Harga minyak WTI yang berada di area negatif, sama artinya dengan memaksa produsen agar mau membayar untuk bisa melepas stok minyaknya.
Pasalnya, sumur-sumur minyak jelas tidak bisa dinonaktifkan begitu saja. Butuh biaya lebih besar untuk mengupayakan hal tersebut, sedangkan penampungan minyak telah penuh.
Sejak awal April lalu, IMF atau Dana Moneter Internasional telah merevisi perkiraan rata-rata turunnya harga minyak Brent dari USD 58,03 per barel menjadi USD 35,61 per barel di tahun 2020. Sementara untuk tahun 2021, proyeksi turun dari USD 55,31 per barel menjadi USD 37,87 per barel.
Kondisi yang sama juga pernah terjadi setelah krisis ekonomi global di tahun 2008 dan saat krisis finansial Asia 1998. Secara garis besar, masalah pemicunya sama, yaitu kelebihan pasokan minyak global dan turunnya jumlah permintaan dunia.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Trading Economics, harga minyak Brent jatuh di kisaran USD 18 sampai USD 20 per barel pada kuartal akhir 1997 menjadi USD 10 di November 1998. Sementara harga minyak merosot ke kisaran USD 40 per barel pada 2009, setelah melonjak tinggi hingga sempat menyentuh USD 140 per barel di 2008. Beruntung, saat itu harga minyak dunia bisa cepat pulih.
Meski merosotnya harga minyak menjadi pukulan berat bagi beberapa negara eksportir, namun bagi negara importir minyak termasuk Indonesia, kondisi ini tentu menguntungkan. Anggaran untuk subsidi energi jadi jauh lebih ringan.
Bahkan, harga bahan bakar minyak bagi masyarakat berpotensi lebih murah ketimbang biasanya. Meskipun pukulan tetap akan terasa karena Indonesia juga mengekspor minyak meski jumlahnya lebih kecil daripada yang diimpor.
Demikian ulasan mengenai isu terkait minusnya harga minyak dunia yang beberapa hari belakangan ini cukup santer terdengar. Semoga informasi ini bermanfaat bagi Anda.
Artikel Terkait
- Barang-barang Berharga yang Bisa Dibarter Ketika Krisis Ekonomi
- Siapa yang Bakal Terdampak Akibat Adanya Lock Down?
- Siapa Itu IMF dan Apa Sepak Terjangnya di Dunia dan Indonesia
- Apa yang Akan Berbeda Setelah Adanya Corona Virus
Demikianlah artikel tentang faktor dan sejarah terjadinya harga minyak minus, semoga bermanfaat bagi Anda semua.