Saya Sudah MBA tetapi Tidak Kaya?
Sebagian orang bisa jadi merasa kikuk ketika mengutarakan pertanyaan seperti di atas karena itu artinya mereduksi arti pendidikan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa perlu ada diskursus ketika seseorang hendak memutuskan untuk menempuh langkah yang dirasa membawa dampak strategis bagi kehidupan personal, profesional maupun sosialnya di masa mendatang. Dan, menempuh pendidikan MBA atau Master of Business Administration adalah salah satunya.
Upaya mengaitkan jalur pendidikan dengan perkiraan income di masa depan bukanlah hal baru. Praktik sejenis selalu mengemuka, terutama di masa-masa pendaftaran perguruan tinggi membuka pendaftaran atau memasuki masa tahun ajaran baru. Wabah semacam ini biasanya lahir sebagai akibat studi sosial dimana sekelompok orang melakukan observasi terhadap distribusi pendapatan mereka yang menjalani profesi tertentu. Observasi tersebut tentu saja valid.
Namun, sejatinya tak bisa dipergunakan untuk memprediksi jurusan atau bidang ilmu apa yang nantinya ‘basah’ dan menuai banyak pendapatan. Mengapa demikian? Itu tak lain karena observasi dilakukan atas hal yang menjadi dampak masa lalu. Ketika sesuatu telah terjadi, maka itu merupakan buah sejarah. Dan, agar bisa terulang kembali, diperlukan masa dan kondisi sosial yang sepenuhnya unik dan mengikuti alur tertentu yang tak bisa diprediksi. Dengan alasan nantinya bakal jadi kaya raya – karena menurut sistem sosial saat ini mereka yang mengambil jurusan A terbukti sukses dan kaya – seseorang pun mengambil jurusan A. Padahal, yang ia dapatkan hanyalah ilusi bahwa nanti bakal kaya setelah menempuh pendidikan di jurusan A.
Ada kalanya sentimen semacam ini lahir karena figuritas yang masif terhadap satu sosok; dan itu berlaku secara global. Salah satu yang cukup kontroversial adalah kejadian di tahun 2011 dimana Tim Cook, CEO Apple pengganti Steve Jobs, diganjar 378 juta dolar AS karena posisi barunya. Sontak publik seantero jagat berkesimpulan bahwa rejeki nomplok yang baru didapat Tim Cook ini merupakan buah gelar MBA-nya. “Kalau ingin kaya raya di kemudian hari, ambil saja pendidikan MBA,” begitu yang tersirat di benak kebanyakan orang.
Tentu, sah-sah saja bagi siapapun untuk memiliki kesimpulan seperti apa atas berbagai peristiwa yang terjadi. Namun, tidak ada hal yang sifatnya mutlak benar atau mutlak salah, terutama jika dikaitkan dengan sesuatu yang sifatnya sosial; adalah tujuan itu sendiri yang membuat sesuatu layak dinilai benar atau salah. Jadi, apakah mengambil gelar MBA bakal membuat seseorang kaya raya?
Jika dibandingkan dengan pendapatan seorang pengusaha semacam Bill Gates, Steve Jobs atau Mark Zuckerberg, tentu apa yang diperoleh Tim Cook tidaklah sebanding. Penilaian yang sama juga diperoleh ketika membandingkan sosok pengusaha yang mengambil gelar MBA seperti Michael Bloomberg dan Alexei Mordashov. Begitu juga dengan John Paulson dan Susanne Klatten; para pengusaha yang memang pada dasarnya kaya raya. Gelar MBA tidak banyak membantu mendongkrak kekayaan seseorang. Selain kenaikan gaji yang tidak seberapa – dari nilai gaji awal yang juga tidak seberapa. Yang ada hanyalah ekspektasi bahwa seorang lulusan MBA pasti mendapat gaji awal – dan kenaikan – yang besar.
Diakui atau tidak, ketika sesuatu tengah menjadi isu, maka sesungguhnya publik benar-benar terhanyut pada rumor yang berkembang. Jadi, saat gelar MBA tengah laris dibahas, pada saat itulah masyarakat berbondong-bondong mengambil pendidikan lanjutan tersebut. Masyarakat pada dasarnya tidak mengerti apa yang mereka inginkan; dan di sanalah fungsi rumor berada.
Popularitas MBA memang kerap mengalami peningkatan tajam, terutama pasca krisis ekonomi baru selesai. Pada tahun 2004, misalnya, tak lama setelah terjadi economic boom dan tingginya kompetisi untuk menduduki posisi tinggi dalam kancah bisnis, terdapat sekitar 139.347 lulusan MBA baru di Amerika Serikat.
Program MBA memang jarang mempersulit lulusannya, karena mereka bisa masuk ke bidang mana saja. Tapi, banyak praktisi yang berkecimpung di dunia manajemen yang berpendapat sebaliknya atas pendidikan manajemen itu sendiri. Kebanyakan berpendapat bahwa program MBA cenderung mendidik orang yang salah dengan cara yang keliru seraya mempertontonkan konsekuensi konyol. Yang lebih ‘menyakitkan’ lagi, ada yang berpendapat bahwa seorang manajer yang mumpuni tidak akan lahir dalam sebuah ruang kelas.
Professor Mintzberg, misalnya, pernah mengkaji performa 19 bekas mahasiswanya yang dikenal terbaik di kelasnya di Harvard Business School di tahun 1990. Temuannya memperlihatkan 10 orang benar-benar gagal, sementara 4 orang lainnya meragukan. Kesimpulannya, hanya 5 orang yang benar-benar sukses. Fakta lain ditemukan di dunia praktis, dimana dari 482 perusahaan yang terdaftar di New York Stock Exchange hanya ada 162 perusahaan yang pimpinannya memiliki gelar di bidang bisnis. Lebih jauh lagi, studi tersebut memperlihatkan bahwa perusahaan yang pimpinannya berasal dari kampus prestisius performanya tidak lebih baik ketimbang korporat yang pimpinannya bukan dari kampus elit.
Fakta lain yang perlu dipertimbangkan adalah gelar MBA bisa ‘kadaluarsa’ . Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kurikulum MBA menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengajaran bisnis; sementara bisnis merupakan bidang yang perubahannya sangat cepat. Dengan demikian, apa yang Anda pelajari saat di bangku MBA kemungkinan besar tidak dapat dan tidak layak untuk diimplementasikan untuk masa depan.
Artikel Terkait
- Apakah Mengambil MBA akan Membuat Saya Kaya?
- Hal-hal Paling Berat yang Harus Dijalani Oleh Pengusaha
- Mengapa Emas Berharga? Apa Sebab Emas Bernilai?
- Buku yang Wajib Dibaca oleh Entrepreneur
Demikianlah artikel tentang sudah MBA tetapi tidak kaya, semoga bermanfaat bagi Anda semua.