Pelajaran dari Krisis di Zimbabwe
Zimbabwe merupakan salah satu negara di Afrika bagian selatan. Negara ini awalnya dikenal sebagai negara yang kaya akan pangan dan berlian. Bahkan, negara yang beribukota di Harare ini pernah menjadi lumbung pangan di Afrika. Kini, kejayaan tersebut hanya tinggal kenangan sebab telah porak-poranda akibat penerapan manajemen industri yang salah, sehingga berdampak pada kekurangan pangan, merosotnya nilai mata uang, dan maraknya tindak korupsi.
Krisis ekonomi yang terjadi di Zimbabwe merupakan krisis ekonomi terparah dalam sejarah perekonomian dunia. Bencana ekonomi yang dialami Zimbabwe diawali dengan kebijakan reformasi lahan pertanian yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 1992. Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk merebut lahan pertanian yang telah dimiliki oleh bangsa kulit putih selama puluhan tahun. Akibatnya, pasokan pangan menurun drastis sehingga berdampak pada banyaknya rakyat yang kelaparan.
Bak efek domino, turunnya pasokan pangan diatasi dengan kebijakan pencetakan uang untuk membiayai impor. Banyaknya jumlah uang yang beredar memicu inflasi, di mana harga-harga komoditas di Zimbabwe naik dua kali lipat. Inflasi yang meningkat tajam diikuti dengan banyaknya PHK sehingga tingkat penggangguran pun melonjak. Di sisi lain, tindak korupsi oleh oknum-oknum pejabat seakan tak terkendali.
Perekonomian Zimbabwe kolaps. Robert Mugabe selaku pemimpin negara waktu itu tak mampu mengendalikan ekonomi, bahkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebagai solusi justru semakin memperparah krisis ekonomi yang terjadi. Akhirnya, pemimpin militer di negara tersebut melakukan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan dan menetapkan sang presiden sebagai tahanan rumah.
Dunia tahu bahwa Zimbabwe melalui masa-masa kelam krisis ekonomi berkepanjangan yang tentu negara lain tak ingin mengalaminya. Sebab itu, penting untuk memetik hikmah dari krisis Zimbabwe bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Berikut beberapa poin penting yang bisa dipetik atas krisis ekonomi Zimbabwe.
- Ketersediaan lahan menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi
Lahan atau tanah menjadi salah satu syarat berdirinya suatu negara. Sebab itu, ketersediaan lahan sangatlah penting untuk dikelola secara maksimal demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Satu hal tentang lahan yang harus disadari oleh setiap pemegang otoritas negara adalah lahan menjadi akar atau fondasi tumbuhnya perekonomian. Dengan adanya lahan, negara dapat menghasilkan produk-produk pertanian, perkebunan, peternakan, perhutanan, dan bahkan pertambangan yang tentunya mampu menggerakkan perekonomian sehingga bertumbuh dan berkembang.
Ketersediaan lahan saja tentu tak akan cukup, tetapi juga disertai dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk mengelolanya sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai dan memberikan manfaat. Oleh karenanya, lahan harus dikelola oleh orang-orang yang tepat.
Krisis Zimbabwe dipicu oleh perampasan lahan secara legal oleh pemerintah. Pemerintah memberikan tanah tersebut kepada orang-orang yang tidak kompeten bertani. Negara memberikan tanah rampasan secara ngawur kepada sembarang orang, sehingga pengelolaannya menjadi kurang maksimal akibatnya pasokan pangan terganggu bahkan mengalami penurunan. Krisis pangan tak bisa dihindari dan terjadinya kelaparan.
Pelajaran yang bisa diambil; kalaupun negara terpaksa merampas tanah orang, maka berikan tanah tersebut kepada orang yang mampu mengelolanya. Berikanlah tanah kepada petani, peternak, atau pekebun yang telah berpengalaman. Jangan berikan tanah kepada sembarang orang, seperti investor, pekerja, atau pengangguran.
Selain itu, petani atau rakyat yang memiliki keterampilan dan kemampuan untuk mengelola lahan layak diapresiasi dengan memberikan sertifikat hak milik. Dengan status hak milik tersebut, rakyat akan semakin termotivasi untuk mengolah lahan secara lebih produktif, sehingga komoditas pangan yang akan dihasilkan semakin banyak dan mencukupi pasokan pangan nasional, bahkan jika berlebih bisa diekspor guna memenuhi kebutuhan negara lain.
- Hormati kehendak rakyat
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Demikian jargon yang sering dikemukakan untuk merepresentasikan pentingnya suara dan posisi rakyat dalam suatu negara. Rakyat adalah pemilik mandat yang dipercayakan kepada presiden sebagai kepala negara untuk menjalankannya. Ketika suara rakyat dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutan demi terciptanya keadilan baik di sektor ekonomi, sosial, politik, dan hukum tak lagi didengar oleh penguasa, maka kelanggenan kekuasaan tak lagi bertahan lama.
Yang terjadi di Zimbabwe, rakyat susah sekali bersuara. Banyak kekecewaaan rakyat kepada pemerintah tidak dapat disampaikan. Polisi represif kepada rakyat yang menyuarakan suara di jalanan. Parlemen saat itu gagal mendengarkan suara rakyatnya. Maka terjadilah demonstrasi-demonstrasi di jalanan Zimbabwe.
Hikmah yang bisa dipetik tentu saja pemerintah harus mampu menjadi pemimpin yang mengayomi dan merangkul semua lapisan dan golongan masyarakat, bukan hanya kelompoknya saja. Berlaku adil terhadap setiap golongan masyarakat sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang ada. Jangan keras terhadap oposisi, tetapi lunak pada pendukungnya. Ketimpangan sosial dan ketidakadilan hukum yang begitu kentara akan memicu gelombang aksi rakyat yang menuntut adanya perubahan.
- Pentingnya peran oposisi dalam jalannya pemerintahan
Dalam politik pemerintahan, oposisi berperan sebagai penyeimbang dan kritikus terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sayang, peran oposisi di Zimbabwe begitu lemah sehingga kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat dan menyimpang. Tidak ada gelombang protes dari oposisi dengan melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan. Akibatnya, pemerintah merasa di atas angin sehingga berlaku sewenang-wenang yang mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan.
Oposisi yang kuat sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas jalannya pemerintahan. Ketika kebijakan dan tindakan pemerintah dinilai keluar dari jalur program, visi, dan misi bernegara, oposisilah yang bertugas mengingatkan tentunya dengan cara yang dilindungi oleh konstitusi. Misalnya menyelenggarakan hak angket di parlemen, melakukan aksi demonstrasi, memberikan kritik secara langsung, dan lainnya. Peran aktif dari oposisi ini akan menjadi penyeimbang pemerintah dalam mengelola negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Negara butuh sosok pemimpin yang visioner
Kepemimpinan Robert Mugabe di Zimbabwe telah berlangsung selama empat periode. Selama masa kepemimpinan tersebut, Mugabe dinilai kurang mampu mengelola negara dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat yang melakukan korupsi, kehidupan sosio-ekonomi masyarakat yang timpang, tidak mampu memberikan rasa aman dan keadilan kepada seluruh rakyat, serta gaya hidup mewah sang kepala negara dan keluarnya di tengah-tengah kesengsaraan yang diderita rakyatnya.
Dari model kepemimpinan Robert Mugabe ini patut dipetik hikmah oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia untuk memilih pemimpin atau kepala negara yang tegas, berwibawa, dan visioner. Artinya, pemimpin negara harus mampu mengambil sikap dan keputusan demi keadilan dan kemakmuran rakyat secara tegas. Dalam pergaulan internasional pun harus luwes dalam berkomunikasi dan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan serta mampu membawa diri dan menjaga kewibawaan serta kehormatan negara. Pemimpin juga harus visioner dalam membangun dan mengembangkan perekonomian dengan menciptakan lapangan kerja dan industri ekonomi kreatif sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta berdaulat.
- Kekuasaan presidensial tidak absolut
Presiden selaku kepala negara merupakan jabatan yang dibatasi oleh periode waktu. Artinya, kekuasaan presiden tidaklah absolut dan tanpa batas, tetapi akan mengalami pergantian setiap periode. Kekuasaan presidensial bukanlah kekuasaan monarki, di mana jabatan kepala negara bisa dilimpahkan secara turun-temurun. Namun inilah yang terjadi di Zimbabwe, di mana sang presiden memecat wakilnya, dan membuka jalan bagi istri sang presiden untuk terlibat dalam pemerintahan. Hal ini tidaklah benar.
Rakyat memberikan mandat kepada presiden untuk mengatur dan mengelola negara, bukan pada keluarganya. Jadi, harus disadari bahwa kekuasaan presidensial tidaklah absolut. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden pun dibatasi dengan undang-undang. Bahkan presiden pun digaji dengan uang negara yang bersumber dari rakyat. Sebab itu, ketika mendapat mandat dari rakyat, presiden harus siap mengabdikan diri dan berjuang untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyat. Bukan justru sebaliknya, bertindak semena-mena terhadap rakyat dan memperkaya diri sendiri dan keluarga termasuk juga kelompok pendukungnya dengan ‘menjarah’ kas dan aset negara.
Artikel Terkait
- Krisis Ekonomi Turki
- Krisis Ekonomi Venezuela
- Krisis Ekonomi Zimbabwe
- Belajar dari Krisis Finansial Venezuela
- Krisis Ekonomi Yunani
- Bagaimana Bersiap Menghadapi Krisis Ekonomi
- Belajar dari Krisis di Venezuela
- Mengambil Hikmah dari Krisis Yunani
- Pelajaran dari Krisis Yunani, Cara Bertahan Saat Krisis Ekonomi
Demikianlah artikel tentang pelajaran dari krisis di Zimbabwe, semoga bermanfaat bagi Anda semua.